Sebanyak tujuh belas penyair dari Aceh dan berbagai daerah di Indonesia tampil membacakan karya mereka dalam pagelaran seni budaya Sound of Nanggroe Vol. 9 yang mengusung tema “17 Puisi Merdeka”. Acara ini diselenggarakan pada Minggu, 17 Agustus 2025, di Taman Seni dan Budaya Aceh, Seutui, Banda Aceh, sebagai bentuk perayaan dua dekade perdamaian Aceh.
Salah satu momen menarik dalam acara tersebut adalah keikutsertaan tiga pelajar SMA Methodist: Nikita Maria, Starren Wunardi, dan Jessen Wiratan, yang tampil membacakan puisi bersama sejumlah seniman muda lainnya seperti Asyifa Sahara (Universitas Bina Bangsa Getsempena) dan Salsabila (Sekolah Menulis Hamzah Fansuri). Para siswa SMA Methodist ini mengungkapkan rasa bangga bisa terlibat dalam ajang seni berskala nasional tersebut. Mereka mengaku merasa diterima sepenuhnya di tengah keberagaman etnis dan agama yang ada di Aceh.
Ramadhan Moeslem Arrasuly alias Made, inisiator acara, menegaskan bahwa perbedaan identitas bukanlah penghalang untuk bersatu. “Kami sebagai umat Islam diajarkan untuk menghormati semua manusia, lintas suku, bangsa, dan agama. Keyakinan adalah urusan pribadi,” ujarnya. Made juga menekankan bahwa kegiatan ini menjadi pesan kepada dunia bahwa masyarakat Aceh tidak rasis, dan kemerdekaan sejati mencakup hak hidup aman, bermartabat, dan adil.
Guru SMA Methodist, Reza, berharap acara seperti ini lebih sering diadakan, bahkan melibatkan sekolah-sekolah di seluruh Aceh. Ia juga mengusulkan adanya dukungan dari berbagai pihak, seperti pembuatan antologi puisi karya siswa, untuk memajukan bakat sastra generasi muda Aceh.
Pagelaran ini turut menampilkan berbagai penyair nasional, seperti Nelson Sani (Papua), anggota Teater HOME, Teater Reje Linge, dan Teater Nol, serta penyair ternama Aceh, Zalsufran, yang kini menjabat Kepala Dinas Peternakan Aceh. Meski tanpa dukungan besar dari pemerintah, Made memastikan Sound of Nanggroe tetap berjalan secara konsisten sebagai ruang kreatif dan refleksi sosial.
Acara ini juga menjadi medium kritik sosial yang mencerminkan perjalanan Aceh dan Indonesia setelah 20 tahun perdamaian. Seniman seperti Wina SW1 dan Mahdalena menegaskan perlunya keterlibatan generasi muda dalam gerakan kebudayaan ini agar literasi dan sastra dapat berkembang menjadi aksi nyata di tengah masyarakat.
Credit by : Rayyan Wahyu Maulana S.Pd.,Gr
Tinggalkan Komentar